Dapat dipahami bahwa al Qur’an mengajarkan agar manusia mau membaca dan mencipta. Ayat al Qur’an yang pertama kali turun adalah perintah m...
Dapat dipahami bahwa al Qur’an mengajarkan agar manusia mau membaca dan mencipta. Ayat al Qur’an yang pertama kali turun adalah perintah membaca. Bahkan pada ayat itu pula disebut salah satu asma Allah adalah al Khaliq, artinya adalah Yang Maha Mencipta. Umpama melalui ayat tersebut dipahami dan disadari, betapa penting kemampuan kedua hal itu, yakni membaca dan mencipta, maka manusia akan mengalami kemajuan. Sebab, kemajuan itu ternyata selalu diawali oleh kegiatan membaca dan mencipta.
Membaca bukan pekerjaan mudah dan apalagi mencipta. Buktinya tidak semua orang berhasil melakukannya. Jangankan membaca gejala atau lingkungan yang luas, sementara itu membaca apa yang ada pada dirinya sendiri saja tidak selalu berhasil. Bahkan, jangankan membaca aspek yang bersifat non fisik, sedangkan membaca aspek yang kelihatan saja juga banyak orang yang gagal. Misalnya, orang tidak mengetahui bahwa panca indera yang dimilikinya sedemikian jujur. Benda yang terasa asin, manis, pahit, selalu dikatakan apa adanya.
Oleh karena kelemahan dalam membaca dirinya itu pula, seseorang menganggap bahwa dirinya sudah baik dan sebaliknya, orang lain masih berkekurangan dan melakukan kesalahan. Atas dasar anggapan yang keliru itu, muncul semangat memperbaiki orang lain. Ketika menganggap bahwa orang lain salah, maka ia berusaha membenarkan, memberi tahu, atau mengajarinya. Atas anggapan bahwa dirinya sendiri yang benar, maka timbul kekhawatiran, apa yang dilakukan orang lain akan merugikan. Padahal bisa jadi, oleh karena kelemahannya dalam membaca itu, maka justru yang memiliki kekurangan adalah dirinya sendiri.
Lemahnya kemampuan membaca tidak saja dialami oleh orang perorang tetapi juga dialami oleh bangsa secara kolektif. Dahulu, pada zaman orde baru, pemimpin bangsa meyakinkan kepada semua pihak bahwa, kegiatan politik tidak perlu diberikan keleluasaan. Sebab menurut sejarahnya, bangsa ini tidak berhasil meraih kemakmuran oleh karena disibukkan oleh kegiatan politik. Disebut-sebut bahwa pada zaman Orde Lama, pembangunan tidak bisa berjalan oleh karena mereka sibuk dengan kegiatan politik yang berlebihan. Oleh karena itu, pemerintah menyederhanakan partai politik, memberlakukan azas tunggal, menerapkan kebijakan monoloyalitas, dan lain-lain dengan maksud mengurangi kegiatan yang bersifat politik. Itulah hasil bacaan pada waktu itu.
Namun setelah terjadi reformasi, apa yang semula dianggap benar itu setelah dibaca kembali ternyata dianggap kurang tepat, maka kebijakan tersebut diubah atau direformasi. Partai politik tidak dibatasi, baik jumlah maupun ruang geraknya, siapapun bebas menentukan hak politiknya, keterbukaan dan kebebasan diberikan kepada siapapun seluas-luasnya, Sebagai bagian dari kebebasan itu, semua warga negara memiliki hak dipilih dan memilih. Dampaknya, siapa saja berkesempatan menjadi wakil rakyat, menduduki jabatan politik, misalnya menjadi bupati, wali kota, gubernur, hingga presiden dan wakil presiden.
Berbagai perubahan tersebut terjadi oleh karena adanya perbedaan hasil bacaan para tokoh dari satu fase sejarah ke fase berikutnya. Maka artinya, hasil bacaan dari para pemimpin yang berbeda, ternyata hasilnya juga akan berbeda pula. Oleh karena itu, tugas membaca sebenarnya tidak mudah. Seringkali terjadi kesalahan yang berakibat fatal, setidaknya harus menanggung resiko baik waktu, tenaga, dan bahkan juga biaya yang tidak kecil. Islam menganjurkan kepada umat manusia agar membaca secara teliti dan benar, agar supaya hasilnya tidak keliru.
Selain kemampuan membaca, Tuhan melalui kitab suci al Qur’an, yakni masih di fase awal masa turunnya juga mengingatkan tentang betapa pentingnya mencipta. Sedemikian hebatnya kemampuan mencipta, sekarang ini dengan mudah bisa dilihat bahwa, negara-negara yang memiliki kemampuan itu, terutama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, berhasil meraih kemajuan, dan meninggalkan jauh negara-negara yang tidak memiliki kemampuan tersebut. Maka mereka yang pandai membaca dan mencipta dipastiklan meraih kemenangan dalam berbagai persaingan. Kekayaan mereka menjadi melimpah sehingga bisa digunakan sebagai modal untuk meraih kemenangan di berbagai bidang lainnya.
Sebaliknya adalah negara-negara yuang tidak mampu membaca dan mencipta, maka yang bisa dilakukan hanyalah meniru. Celakanya lagi, sekedar meniru saja, seringkali juga terlambat, dan bahkan juga tidak tepat. Seharusnya umat Islam, mendasarkan pada pesan kitab suci dimaksud berhasil menjadi umat yang pintar membaca dan sekaligus juga mencipta. Sebaliknya, bukan sekedar menjadi peniru. Dahulu, menurut catatan sejarahnya, umat Islam pernah meraih keunggulan dan dikagumi oleh umat lainnya. Namun sayang, keungulan membaca dan mencipta itu tidak mampu dipertahankan, sehingga akhirnya menjadi tertinggal seperti yang sedang dialami sekarang ini.
Oleh karena itu, bilamana umat Islam berkehendak meraih kembali kejayaannya, maka yang seharusnya dilakukan adalah membangun tradisi membaca dan mencipta seluas-luasnya. Selain membangun tempat ibadah, umat Islam seharusnya membangun pusat-pusat riset, mereformulasi kembali bangunan keilmuannya, melakukan eksperimentasi, terutama untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, menggalakkan berbagai kegiatan ilmu di berfbagai bidang, dan seterusnya. Jika hal itu tidak dibangkitkan kembali, maka hingga kapan pun umat Islam akan tertinggal dan akhirnya hanya akan menjadi umat yang selalu berada di belakang sambil meniru mereka yang telah mengalami kemajuan terlebih dahulu. Wallahu a’lam.
Sumber : Prof. Imam Suprayogo
COMMENTS